Senin, 22 Agustus 2016

Isu Rokok oleh Media Online



Akhir-akhir ini, media online Indonesia dihebohkan dengan adanya isu kenaikan harga rokok menjadi 50ribu per bungkusnya. Awalnya aku tidak mau ikut campur, bahkan tidak mau peduli dengan kenaikan ini, toh aku juga bukan seorang perokok, atau punya pacar seorang perokok aktif (emang ada?), tetapi kenaikan ini pasti akan berdampak rumit pada kehidupan keluargaku kedepannya.

Aku masih mempunyai kedua orang tua yang lengkap, yang masih sehat (secara fisik) mencari nafkah untuk keempat anaknya yang belum dapat bekerja seluruhnya. Tetapi ayah dan ibuku adalah orang tua terhebat. Dengan penghasilan pas-pasan, kami tidak pernah merasa kekurangan untuk makan, untuk biaya sekolah, bahkan biaya hidup kuliahku. Ayahku adalah seorang perokok aktif, sejak kapannya entah. Dulu, aku sering merasa tidak nyaman di dekatnya, karena asap, apalagi. Aku juga pernah meminta ayah berhenti merokok dengan alasan kesehatan, tetapi sampai sekarang permintaanku tak kunjung dituruti.
Dari kecil aku tinggal bersama kakek dan nenekku, yang rumahnya berdekatan dengan rumah kedua orang tuaku. Nenekku lahir 15 tahun setelah Indonesia merdeka, dan tentu usianya sekarang sudah tak lagi muda. Beliau bekerja serabutan, kakekku juga. Tapi nenek adalah orang yang paling disukai orang-orang karena kesabaran dan kelembutannya, entah mengapa sifat ini tak diwariskan kepadaku. Saat ini, nenek sudah tak mampu bekerja segiat dulu, tak ada pendapatan pasti yang didapatkan, tetapi kakekku adalah perokok aktif, yang untuk membelinya (rokok) masih minta nenekku.
Aku pernah membaca dari salah satu media online, bahwa isu kenaikan harga rokok menjadi 50ribu ini dipicu oleh survey salah seorang profesor universitas ternama dekat Ibukota, yang katanya juga ada hubungannya dengan salah satu partai, Beringin. Belum ada informasi yang jelas mengenai hal ini. Sekali lagi, ini hanya menurut salah satu tulisan di media online. Mereka (media) mengatakan bahwa isu ini dibuat hanya untuk menjatuhkan kepemimpinan Presiden Jokowi, dan dapat dijadikan alasan dalam Pemilihan Presiden 2019 nantinya.
Terlepas dari adanya campur tangan media dalam memengaruhi pola pikir masyarakat, isu ini masihlah berita hoax, yang belum dikaji oleh pemerintah, bahkan bukan pemerintah yang mengeluarkan isu ini, tapi lagi-lagi nama pemerintah yang dibawa. Aku tidak pernah tau bagaimana nantinya jika isu ini menjadi sebuah kebijakan yang tercantum dalam UU. Masyarakat menengah kebawah, yang kebayakan membutuhkan rokok, yang katanya untuk “inspirasi”, yang telah menjadi tradisi dalam setiap perbincangan.
Belasan tahun yang lalu, aku masih ingat ketika ayah membeli tembakau dan bahan campuran lain yang tidak ku tau namanya (sepertinya cengkeh), diramu dan di “linting” (dalam istilah Jawa), menjadi rokok buatan sendiri. Bila kenaikan harga rokok benar-benar terjadi, sepertinya tradisi “nglinting” rokok ini akan kembali dilakukan ayah. Aku sangat berharap, apapun keputusan yang diambil pemerintah nantinya, tidak hanya menguntungkan minoritas tetapi mengabaikan mayoritas. Apapun itu, semoga pemerintah tidak hanya mempertimbangkan berdasarkan sebab-akibat secara linear, tetapi juga secara sistem dinamis dalam jangka waktu kedepannya.
“Mungkin, pemerintah menilai dengan adanya jalan tol maka tidak akan terjadi kemacetan lagi. Namun kenyataannya terjadi kemacetan yang luar biasa dimana-mana. Penambahan fasilitas jalan tol bukan malah akan mengurangi angka kemacetan, tetapi sebaliknya, pembahan ini berujung dengan penambahan jumlah kendaraan pribadi dalam jangka waktu panjang”.
Penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih terdapat kekurangan. Kalau ada yang nggak bener, jangan sungkan untuk “ngritik” J

2 komentar: