Jumat, 26 Agustus 2016

Laki-laki di Samping Tangga



Hay guys.. Masih ada di blog sederhanaku nih, numpang curhat ya. Hehe :) Dan terimakasih untuk seseorang yang telah menginspirasi :D

Hari ini aku harus bertemu seseorang. Sesosok manusia berperawakan tinggi dan putih, dan sedikit menyebalkan. Masih dengan laptop menyala, aku menaiki beberapa anak tangga dengan tergesa-gesa. Aku harus segera menemui kepala direktur dan memberikan sejumlah file kerja yang baru saja kuselesaikan. Aku tak dapat menyembunyikan rasa kantukku, dan sesekali aku menguap. “Sial, 2 gelas kopi yang kubuat tadi pagi ternyata tak mampu menahan kantuk yang ada. Aku juga tak mungkin menghadap kepala direktur dengan mata panda seperti ini”, gumamku.
Aku bergegas menuju meja kerja yang tinggal beberapa langkah lagi. Kuletakkan laptop dan ke toilet untuk menyegarkan wajah. “Harusnya aku menyelesaikan ini dari awal kepala direktur menugaskannya padaku, bukan malah dadakan seperti ini. Gara-gara aku harus menjadi fotografer dalam pre-wed kakak, jadwalku menjadi sangat kacau. Kalau dia bukan kakakku, pasti aku tidak akan bersedia, dengan alasan apapun, dengan bayaran berapapun, eh.. Kalau itu bisa difikir...” Belum selesai aku mengomeli diriku sendiri, tatapanku menemukan sesosok pria berdiri dengan kemeja hitam di pojok tembok sebelah tangga. Sepertinya aku tidak asing dengan orang tersebut, aku mencoba mengingat-ingat, sampai pada akhirnya aku teringat harus memberikan beberapa file kepada kepala direktur kalau tidak ingin ia memarahiku lagi.
Rhen. Rhena. Orang yang pertama kali kukenal dan akrab denganku semenjak aku pindah tugas di perusahaan ini, dan telah menjadi sahabat sekaligus teman curhatku sekarang. Sepuluh menit setelah aku selesai dari ruang kepala direktur, ia cekikikan menuju meja kerjaku. Aku menaruh curiga. Tanpa di komando lagi, ia menceritakan semuanya. Sebelum aku kembali ke meja kerjaku, Rhen-lah yang berbincang-bincang dengan sesosok pria di sebelah tangga tadi. Rupanya setelah pria itu tau aku berlari menuju meja kerjaku, perbincangan keduanya pun berhenti. “Matanya tak henti memandangimu dari kejauhan, dan tersenyum kecil, senyum yang tak seorangpun tau, dan pandangan yang tak seorangpun dapat menebak artinya”, kata Rhen. “Tapi jangan salah, sahabatmu ini berbeda dengan orang-orang, aku mengetahui arti dari pandangan itu, dan aku juga tau dia tengah tersenyum kepadamu”, lanjutnya. Aku masih tak percaya dengan apa yang dikatakan Rhen mengenai pria tersebut, dan aku masih tak ingat siapa pria yang bersama Rhen tadi. Rasanya memang tak asing, tapi aku tak tau siapa. “Siapa?”, tanyaku. Rhen kembali cekikikan. “Seseorang di masa lalumu, masih tak ingat?” Aku melongo. Rhen menuju meja kerjanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar