Telingaku
rasanya risih mendengar bahwa banyak orang yang tidak menyukaimu. Bahwa karena
kamu sering menyombongkan dirimu sendiri. Terkadang aku juga merasakan
kerisihan itu. Hanya saja, kamu yang tidak menyadari, atau tidak mau tau dengan
sikap yang diberikan lingkungan sekitarmu. Terlebih, kamu tidak pernah mau
menerima masukan dari orang lain.
Aku
pernah memberitahumu – bukan menasihati – akan suatu hal. Bahwa perlakuan dan
sikap yang kamu berikan kepada orang-orang, tidak semestinya seperti itu dilakukan.
Namun yang kudapatkan adalah kenyataan bahwa kamu bukanlah orang terbuka, yang
dengan gampang menerima masukan dariku, yang notabene bukan siapa-siapamu.
Sesekali kubiarkan aku menenangkan diri, menata perasaan yang memang tidak
pernah dianggap. Aku menarik napas berkali-kali, berharap hatiku dengan lapang
menerimanya. Sekali, dua kali.
Kamu
masih saja menjadi orang yang sama seperti satu setengah tahun yang lalu saat
aku pertama kali mengenal. Saat itu, tak sengaja kita bertemu pada sebuah
kesempatan. Aku yang tak mengenal siapa-siapa, hanya bisa terdiam di sudut meja
itu. Memandangi di sekelilingku yang asyik bercengkerama. Lalu kamu datang
menawariku segelas kopi hangat. Kita saling bertatapan. Aku terdiam dalam waktu
beberapa detik sebelum menerima kopi yang kamu bawa. Sejak saat itu, aku
mengenalmu sebagai pribadi yang gampang bergaul, ramah, pandai mengambil hati
orang lain, yang membuatmu mempunyai banyak teman – namun belakangan kuketahui
bahwa semua tak semanis kelihatannya. Dari pertemuan yang tak disengaja itu aku
mengenalmu. Aku sering bertemu denganmu. Sering kuhabiskan waktu denganmu.
Sering aku mengabaikan rencana-rencana yang telah kususun rapi hanya untuk
menemani kegiatanmu. Hingga akhirnya aku menyadari. Bahwa hatiku telah jatuh kepadamu.
Setiap
hari kusempatkan waktu untuk menanyakan kabarmu. Berharap kamu dalam keadaan
yang masih dilindungi oleh Yang MahaKuasa. Beberapa kali, aku singgah ke
pondokmu. Membawakanmu beberapa potong kue buatan sendiri. Menanyakan tentang
kabar studimu. Sesekali kamu mengeluh. Aku mulai mencoba membantu sebisaku. Namun itu terjadii berkali-kali.
Dan akhirnya aku menyadari. Bahwa aku hanya dimanfaatkan. Kecewa, marah, benci,
bercampur dengan perasaan sayang. Aku berusaha melupakanmu berkali-kali,
mencoba mematahkan hatiku sendiri, dengan luka yang harus kurasakan sendiri,
dengan luapan air mata yang kutanggung setiap hari, dengan kegelisahan yang
menghantuiku setiap hari. Aku yang berusaha menjauh dari hidupmu dan mencoba
menjalani hidupku seperti sedia kala, kembali harus menelan pahit dan
kekecewaan denganmu, yang hanya datang disaat kamu butuh, dan pergi setelah tak
ada hubungannya denganku. Kini, usaha melupakan itu masih terus kuusahakan.
Filia Sandra |
11/12/2016
Terinspirasi dari
novel “Sebuah Usaha Melupakan” – karya Boy Candra.
kapan "simple blog senja" update lagi,,,di tunggu posting.am selanjutnya...
BalasHapus