Aku
mulai menyusuri lorong demi lorong. Di sudutnya hanya tampak beberapa batang
lilin yang sudah hampir habis. Aku melihat sekelilingku, tak ada seseorang yang
bisa ku ajak berbicara, karena memang tak ada siapa-siapa di dekatku. Angin
telah menembus batang-batang sayu tubuh ini. Semakin dingin dan semakin tak ada
cahaya yang tampak. Aku terus menguatkan mental untuk membaca setiap tumpuk
kata yang ada di pojok jalan yang ku lalui. Langkah demi langkah...
Berpuluh batu yang menyapa kakiku sekarang, tak ku hiraukan lagi jumlahnya. Aku hanya ingin segera keluar dari ruangan pengap ini dan menyelesaikan tidur malamku.
Berpuluh batu yang menyapa kakiku sekarang, tak ku hiraukan lagi jumlahnya. Aku hanya ingin segera keluar dari ruangan pengap ini dan menyelesaikan tidur malamku.
Terlihat
seberkas cahaya senter berpadu dengan sinar rembulan. Ku pijakkan kaki di tanah
becek. Genangan air hujan sisa tadi sore pun masih terlihat di beberapa bagian
tempat. Perlahan aku mulai tak mampu menopang tubuhku sendiri, terasa sangat
berat, lalu aku terjatuh. Aku mencoba menguatkan diri semampuku. Sampai
akhirnya aku benar-benar tak sadarkan diri.
“Apa
yang terjadi padaku?”
“Fisikmu
lemah, dan senior telah berkali-kali memperingatkan hal ini padamu. Aku juga
tidak bermaksud melarangmu, kau memang mempunyai hak untuk mengikuti seluruh
rentetan acara ini. Tapi ingatlah bahwa tubuhmu juga mempunyai hak untuk beristirahat
dan menolak apa yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Aku mengerti kau memang
sangat berbakat, tapi aku harap jangan kau sakiti tubuhmu sendiri bila
memang sudah tidak sanggup. Kau terlalu
menjadi wanita yang sok kuat”.
“Terima
kasih atas pujianmu, tapi aku tak butuh omong kosongmu sekarang. Aku lelah dan
aku hanya ingin beristirahat. Pergilah, sudah ada senior yang menjagaku”.
“Seorang
Ratih bisa mengatakan dirinya lelah? Hahaha. Aku mengenalmu sejak TK dan kau
tak pernah mengatakan dirimu lelah, capek atau apalah. Aku tau kau gadis yang
sangat kuat. Tapi aku tak menyalahkan bila kau berkata demikian sekarang,
mungkin hatimu yang memberontak setelah 18 tahun kau menutup-nutupinya dengan
kemanisan kata. Istirahatlah, semoga lekas sembuh”.
Dani
memang selalu begitu. Cerewet, tapi dia yang selalu peduli dengan keadaanku.
Tak pernah ada mahasiswa lain yang mampu berkata sekeras itu padaku. Mungkin
karena aku dan Dani telah berteman sejak kecil, sehingga dia telah menganggapku
seperti saudaranya sendiri. Orangtuaku sebenarnya tak pernah mengizinkanku
untuk pergi ke daerah yang tidak cocok dengan pernapasanku. Tetapi setelah aku
merayu bahwa Dani yang akan menjagaku, akhirnya dengan berat hati mereka
melepasku untuk pergi.
“Bagaimana
dengan Ratih?”
“Ah,
sudahlah. Kakak tak usah terlalu mengkhawatirkannya. Dari dulu dia memang keras
kepala. Susah dibilangin. Tapi aku yakin dia wanita yang tegar dan aku sangat
yakin dia mampu bertahan”.
“Ya.
Semoga saja memang benar demikian”.
Tubuhku
memang tampak sudah tak dapat untuk diajak berkompromi lagi. Aku mulai
mengerang kesakitan, bahkan selama 18 tahun ini aku tak pernah mengeluhkan
sakit yang ku alami. Tapi sekarang, serasa beban selama sekian tahun itu
menumpuk. Aku tau Dani mengawasiku dari balik jendela kaca ruangan. Tatap
matanya tak mampu menyembunyikan kegelisahannya padaku. Matanya berkaca-kaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar