Kamis, 21 April 2016

Lebih ke Inspirasi yang Gagal Berkembang :)


Aku mulai menyusuri lorong demi lorong. Di sudutnya hanya tampak beberapa batang lilin yang sudah hampir habis. Aku melihat sekelilingku, tak ada seseorang yang bisa ku ajak berbicara, karena memang tak ada siapa-siapa di dekatku. Angin telah menembus batang-batang sayu tubuh ini. Semakin dingin dan semakin tak ada cahaya yang tampak. Aku terus menguatkan mental untuk membaca setiap tumpuk kata yang ada di pojok jalan yang ku lalui. Langkah demi langkah...
Berpuluh batu yang menyapa kakiku sekarang, tak ku hiraukan lagi jumlahnya. Aku hanya ingin segera keluar dari ruangan pengap ini dan menyelesaikan tidur malamku.
Terlihat seberkas cahaya senter berpadu dengan sinar rembulan. Ku pijakkan kaki di tanah becek. Genangan air hujan sisa tadi sore pun masih terlihat di beberapa bagian tempat. Perlahan aku mulai tak mampu menopang tubuhku sendiri, terasa sangat berat, lalu aku terjatuh. Aku mencoba menguatkan diri semampuku. Sampai akhirnya aku benar-benar tak sadarkan diri.
“Apa yang terjadi padaku?”
“Fisikmu lemah, dan senior telah berkali-kali memperingatkan hal ini padamu. Aku juga tidak bermaksud melarangmu, kau memang mempunyai hak untuk mengikuti seluruh rentetan acara ini. Tapi ingatlah bahwa tubuhmu juga mempunyai hak untuk beristirahat dan menolak apa yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Aku mengerti kau memang sangat berbakat, tapi aku harap jangan kau sakiti tubuhmu sendiri bila memang  sudah tidak sanggup. Kau terlalu menjadi wanita yang sok kuat”.
“Terima kasih atas pujianmu, tapi aku tak butuh omong kosongmu sekarang. Aku lelah dan aku hanya ingin beristirahat. Pergilah, sudah ada senior yang menjagaku”.
“Seorang Ratih bisa mengatakan dirinya lelah? Hahaha. Aku mengenalmu sejak TK dan kau tak pernah mengatakan dirimu lelah, capek atau apalah. Aku tau kau gadis yang sangat kuat. Tapi aku tak menyalahkan bila kau berkata demikian sekarang, mungkin hatimu yang memberontak setelah 18 tahun kau menutup-nutupinya dengan kemanisan kata. Istirahatlah, semoga lekas sembuh”.
Dani memang selalu begitu. Cerewet, tapi dia yang selalu peduli dengan keadaanku. Tak pernah ada mahasiswa lain yang mampu berkata sekeras itu padaku. Mungkin karena aku dan Dani telah berteman sejak kecil, sehingga dia telah menganggapku seperti saudaranya sendiri. Orangtuaku sebenarnya tak pernah mengizinkanku untuk pergi ke daerah yang tidak cocok dengan pernapasanku. Tetapi setelah aku merayu bahwa Dani yang akan menjagaku, akhirnya dengan berat hati mereka melepasku untuk pergi.
“Bagaimana dengan Ratih?”
“Ah, sudahlah. Kakak tak usah terlalu mengkhawatirkannya. Dari dulu dia memang keras kepala. Susah dibilangin. Tapi aku yakin dia wanita yang tegar dan aku sangat yakin dia mampu bertahan”.
“Ya. Semoga saja memang benar demikian”.
Tubuhku memang tampak sudah tak dapat untuk diajak berkompromi lagi. Aku mulai mengerang kesakitan, bahkan selama 18 tahun ini aku tak pernah mengeluhkan sakit yang ku alami. Tapi sekarang, serasa beban selama sekian tahun itu menumpuk. Aku tau Dani mengawasiku dari balik jendela kaca ruangan. Tatap matanya tak mampu menyembunyikan kegelisahannya padaku. Matanya berkaca-kaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar