R.A
Kartini menjadi Pahlawan yang diistimewakan lebih oleh pemerintah dibanding
dengan pahlawan-pahlawan wanita lain seperti Cut Nyak Dien, atau Dewi Sartika,
sebab pemerintah hanya menetapkan Hari Kartini, bukan Hari Cut Nyak Dien atau
Hari Dewi Sartika di penanggalan nasional. Pada akhir-akhir ini...
sebagian orang menolak untuk merayakan Hari Kartini, sehingga menjadi kontroversi di dunia maya dan media sosial. Hal ini karena sebagian orang menganggap bahwa perjuangan Kartini tidaklah nyata, tidak seperti perjuangan yang dilakukan oleh Cut Nyak Dien dan Dewi Sartika yang turun langsung ke medan perang.
sebagian orang menolak untuk merayakan Hari Kartini, sehingga menjadi kontroversi di dunia maya dan media sosial. Hal ini karena sebagian orang menganggap bahwa perjuangan Kartini tidaklah nyata, tidak seperti perjuangan yang dilakukan oleh Cut Nyak Dien dan Dewi Sartika yang turun langsung ke medan perang.
Cerita
sedikit guys.. Perjuangan Kartini ini dimulai sejak usia 12 tahun. Kartini sempat
mengenyam pendidikan di ELS hingga usia 12 tahun. Tentunya Kartini lebih
beruntung daripada wanita pribumi lainnya, sebab Kartini masih dapat bersekolah
karena ayahnya yang keturunan Belanda. Nah, sebagai wanita Jawa, Kartini harus
mengalami masa diam di rumah (dipingit) seperti kebanyakan wanita Jawa lainnya.
Kartini tidak suka dengan hal tersebut. Kartini masih ingin terus mengenyam
pendidikan dan memperoleh gelar sarjaana. Akhirnya, ia mengisi hari-hari
pingitannya dengan berkirim surat kepada sahabat-sahabatnya di Eropa.
Banyak
orang beranggapan bahwa perjuangan Kartini hanya bersenjatakan “pena” saja,
tidak seperti perjuangan wanita lain (sebut saja Cut Nyak Dien, atau Dewi
Sartika) yang langsung turun ke medan perang, bersenjata perang, hingga gugur
di medan perang, bahkan sampai ada yang harus kehilangan anak dan suami. Tetapi
Kartini tidak kehilangan sesuatupun.
Mengapa
ada Hari Kartini, tetapi pejuang wanita lain hanya diperingati pada Hari
Pahlawan saja? Terlintas pertanyaan seperti itu. Sebenarnya sih, Kartini, atau
Cut Nyak Dien, atau Dewi Sartika adalah sama. Mereka sama-sama memiliki
pemikiran untuk memperjuangkan nasib di daerahnya. Kartini memperjuangkan nasib
wanita di Jepara, dan Cut Nyak Dien di Aceh serta Dewi Sartika di Bandung juga
memperjuangkan nasib masyarakat di daerahnya. Apabila kita berpikir positif,
tentu kita akan menyikapi pemikiran tersebut dari sisi yang positif pula.
Apakah dapat dikatakan bahwa perjuangan pejuang wanita lain yang langsung turun
ke medan perang lebih besar jasanya dibanding dengan Kartini? Lalu apakah
pahlawan juga harus dibagi menurut strata perjuangannya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar