Jumat, 22 April 2016

Kontroversi Hari Kartini



R.A Kartini menjadi Pahlawan yang diistimewakan lebih oleh pemerintah dibanding dengan pahlawan-pahlawan wanita lain seperti Cut Nyak Dien, atau Dewi Sartika, sebab pemerintah hanya menetapkan Hari Kartini, bukan Hari Cut Nyak Dien atau Hari Dewi Sartika di penanggalan nasional. Pada akhir-akhir ini...
sebagian orang menolak untuk merayakan Hari Kartini, sehingga menjadi kontroversi di dunia maya dan media sosial. Hal ini karena sebagian orang menganggap bahwa perjuangan Kartini tidaklah nyata, tidak seperti perjuangan yang dilakukan oleh Cut Nyak Dien dan Dewi Sartika yang turun langsung ke medan perang.
Cerita sedikit guys.. Perjuangan Kartini ini dimulai sejak usia 12 tahun. Kartini sempat mengenyam pendidikan di ELS hingga usia 12 tahun. Tentunya Kartini lebih beruntung daripada wanita pribumi lainnya, sebab Kartini masih dapat bersekolah karena ayahnya yang keturunan Belanda. Nah, sebagai wanita Jawa, Kartini harus mengalami masa diam di rumah (dipingit) seperti kebanyakan wanita Jawa lainnya. Kartini tidak suka dengan hal tersebut. Kartini masih ingin terus mengenyam pendidikan dan memperoleh gelar sarjaana. Akhirnya, ia mengisi hari-hari pingitannya dengan berkirim surat kepada sahabat-sahabatnya di Eropa.
Banyak orang beranggapan bahwa perjuangan Kartini hanya bersenjatakan “pena” saja, tidak seperti perjuangan wanita lain (sebut saja Cut Nyak Dien, atau Dewi Sartika) yang langsung turun ke medan perang, bersenjata perang, hingga gugur di medan perang, bahkan sampai ada yang harus kehilangan anak dan suami. Tetapi Kartini tidak kehilangan sesuatupun.
Mengapa ada Hari Kartini, tetapi pejuang wanita lain hanya diperingati pada Hari Pahlawan saja? Terlintas pertanyaan seperti itu. Sebenarnya sih, Kartini, atau Cut Nyak Dien, atau Dewi Sartika adalah sama. Mereka sama-sama memiliki pemikiran untuk memperjuangkan nasib di daerahnya. Kartini memperjuangkan nasib wanita di Jepara, dan Cut Nyak Dien di Aceh serta Dewi Sartika di Bandung juga memperjuangkan nasib masyarakat di daerahnya. Apabila kita berpikir positif, tentu kita akan menyikapi pemikiran tersebut dari sisi yang positif pula. Apakah dapat dikatakan bahwa perjuangan pejuang wanita lain yang langsung turun ke medan perang lebih besar jasanya dibanding dengan Kartini? Lalu apakah pahlawan juga harus dibagi menurut strata perjuangannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar